MAKALAH : MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
MEKANISME KEUANGAN SYARIAH , BERBASIS TITIPAN ( WADI’AH )
KELOMPOK X
AHMAD FAUZI
AKBAR
MENEJEMEN KAUNGAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SULTAN AMAY
GORONTALO
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat sempurna. sehingga bisa
dikatakan adalah agama yang bersifat universal dan komprehensif. Islam adalah
Agama yang sesuai pada setiap waktu dan tempat yang berarti mencakup seluruh
aspek kehidupan baik itu dalam bermuamalah maupun ibadah. Sedangkan yang di
maksud dalam bidang muamalah sendiri mempunyai arti yang cukup luas, salah
satunya dalam bidang ekonomi dan perbankan.
Salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam
kegiatan perekonomian adalah Perbankan. Peran strategis tersebut terutama
disebabkan oleh fungsi utama perbankan sebagai financial intermediary,
yaitu sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana
masyarakat secara efektif dan efesien.
Perbankan syariah pada dasarnya merupakan pengembangan dari
konsep ekonomi Islam, terutama dalam bidang keuangan. Perbankan syariah dalam
peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking. Bank syariah
pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan
praktisi perbankan muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai
pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan
sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syariah Islam. Utamanya adalah
yang berkaitan dengan pelarangan praktek riba, kegiatan maisir (perjudian), Gharar
(ketidakjelasan) dan pelanggaran prinsip keadilan dalam transaksi serta
keharusan penyaluran dana investasi pada kegiatan usaha yang etis dan halal
secara syariah.
Lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah di
Indonesia keberadaannya telah diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang
nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tahun tahun 1992
tentang perbankan. Hingga kini terdapat banyak institusi bank syariah di
Indonesia.
Keberadaan lembaga keuangan dalam Islam adalah vital karena
kegiatan bisnis dan roda ekonomi tidak akan berjalan tanpanya. Bank syariah
adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Tujuan utama
dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain
sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya
berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebagaimana diketahui bahwa bank syariah dibentuk adalah
sebagai koreksi atas bank konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga yang
dianggap oleh sebagian ulama sebagai riba. Oleh karena itu dengan bank syariah
dioperasikan tidak menggunakan sistem bunga melainkan dengan sistem bagi hasil.
Kendatipun perbankan syariah melalui program-programnya
telah mensosialisasikan produk syariah ke masyarakat umum, namun masih ada
sebagian masyarakat yang belum memahami beberapa produk syariah, padahal
apabila dikaji tentang manfaatnya, semua produk syariah tentunya mempunyai
fungsi dan perannya masing-masing dalam kehidupan ekonomi umat.
Pada fase perkembangan saat ini, perbankan syariah tidak
hanya memiliki peluang, melainkan juga berbagai permasalahan. Nasabah dan
masyarakat secara umum masih melihat bank syariah sama dengan bank konvensional
karena margin yang harus dibayar oleh nasabah tak kalah tinggi dengan bunga.
Sisi sumber daya manusia (SDM) di perbankan syariah turut menjadi bahasan
sebagai salah satu pesoalan yang harus segera dituntaskan.
Hal-hal diatas, diakui ataupun tidak, merupakan titik lemah
perbankan syariah yang menjadi prioritas pikiran kita bersama. Padahal kunci
kesuksesan perbankan syariah sangat tergantung dengan tingkat kepercayaan
publik terhadap kekuatan financial bank yang bersangkutan. Untuk meraih
kepercayaan tersebut adalah dengan tingkat kualitas informasi yang diberikan
kepada publik. Bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki
kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun
tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat Islam.
Berkaitan dengan itu, produk-produk Bank Syariah pun tak
luput dari permasalahan. Di dalam prakteknya, terdapat temuan-temuan yang bisa
jadi akan mengurangi tingkat keparcayan publik kalau saja dibiarkan berlanjut
tanpa ada tindakan dari bank syariah. Selain itu, dalam perspektif syariah pun,
perlu kiranya untuk ditinjau ulang bagaimana sebaiknya implementasi akadnya
sehingga tidak merugikan kedua belah pihak, baik pihak bank maupun nasabah.
Di antara produk Syariah yang ingin dibahas dalam makalah
ini adalah produk Giro dan Tabungan Syariah, yang sulit ditemukan dasar
hukumnya secara fikih. Pada prinsipnya, landasan kedua produk ini benar menurut
fikih karena berlandaskan wadiah. Hanya saja, dalam implementasinya bank
Syariah menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait
dengan kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih
menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, maka penulis menarik identifikasi
masalah sebagai berikut.
- Identifikasi masalah:
- Bagaimana tanggung jawab wadii’ kepada muwaddi’ dalam akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah?
- Bagaimana penerapan produk perbankan syariah yang menggunakan akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah?
- Tujuan Penulisan:
- Untuk mengetahui tanggung jawab wadii’ kepada muwaddi’ dalam akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah
- Untuk mengetahui penerapan produk perbankan syariah yang menggunakan akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah
PEMBAHASAN
Tanggung Jawab Wadii’ kepada Muwaddi’ dalam akad wadiah
Dihubungkan dengan Fiqih Muamalah
Al Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak
lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan
saja si penyimpan menghendakinya.
Barang titipan dalam fiqih dikenal dengan sebutan wadi’ah,
menurut bahasa, wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya
supaya dijaga (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti
bahwa wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua wadi’ah dari segi bahasa
adalah menerima, seperti seseorang berkata: “awda’tubu” artinya aku
menerima harta tersebut darinya (Qabiltu minhu dzalika al-Mal Liyakuna
Wadi’ah ‘Indi), secara bahasa wadi’ah memiliki 2 makna, yakni memberikan
harta untuk dijaga dan pada penerimaannya.
Dalam tradisi islam, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan
murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang
harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Wadi’ah menurut pasal 20 ayat 17 komplikasi Hukum Ekonomi
Syari’ah(2009) ialah penitipan dana antara pihak pemilik dengan pihak penerima
titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Aplikasi wadi’ah terhadap
dalam fatwa DSN-MUI No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadi’ah Bank
Indonesia.
Setelah diketahui definisi wadi’ah, maka dapat dipahami
bahwa yang dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang
lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada
kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu
disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
Keharusan
menjaga wadi’ah
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ
خَانَكَ
“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan
kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi,
dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ 5/381).
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan
adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping
mempunyai nilai sosial yang tinggi. Akan tepai agar titipan tersebut tidak akan
menimbulkan masalah dikemudian hari, maka disyaratkan :
- Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya
- Tidak memungut biaya pemeliharaan
- Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak
Dengan
demikian apabila barang titipan itu mengalami kerusakan akibat kelalaian orang
yang menerimanya, maka ia wajib menggantikannya.
Adapun
kriteria kelalaian antara lain:
- Orang yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa sepengetahuan yang memilikinya
- Barang titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang
- Menyia-nyiakan barang titipan
- Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab yang jelas
- Lalai atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan
- Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli warisnya atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang rusak dan hilang.
Hukum
menerima wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :
- Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup memelihara dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas kepada Allah. Dianjurkan menerima wadii’ah, karena ada pahala yang besar di sana, berdasarkan hadits:
وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى
عَوْنِ أَخِيه
“Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau
menolong saudaranya.”
(HR. Muslim)
- Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali hanya dia satu-satunya
- Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya barang titipan
- Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat terhadap barang titipan itu.
Wadii’ (orang yang dititipi) tidaklah menanggung barang
titipan kecuali jika dia meremehkan atau melakukan jinayat (berindak salah)
terhadap barang titipan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni.
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ غَيْرِ المُغِلِّ ضَمَانٌ
“Bagi orang yang dititipi yang bukan pengkhianat tidaklah
menanggung.”
Amr
bin Syu’aib juga meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أُوْدِعَ وَدِيْعَةً فَلاَضَمَانَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang dititipkan wadii’ah, maka dia tidaklah
menanggungnya.”
(HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan tentang
wadii’ah yang berada dalam sebuah kantong, lalu hilang karena bolongnya kantong
tersebut bahwa ia (orang yang dititipi) tidak menanggungnya. Bahkan Urwah bin
Az Zubair pernah meminta dititipkan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits
bin Hisyam harta dari harta milik bani Mush’ab, lalu ternyata harta
tersebut tertimpa musibah ketika masih berada di Abu Bakar atau sebagian harta
itu, maka Urwah mengutus seseorang untuk memberitahukan, “Bahwa kamu tidak
perlu menanggungnya. Kamu hanyalah orang yang diamanahi.” Lalu Abu Bakar
berkata, “Saya telah mengetahui bahwa saya tidak menanggung, akan tetapi nanti
orang-orang Quraisy menyebutkan bahwa diriku sudah tidak amanah”, lalu Abu
Bakar menjual harta miliknya dan melunasinya.
Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang
standar atau sesuai barang tersebut secara ‘uruf sebagaimana hartanya dijaga.
Jika barang titipan berupa hewan, maka muuda’ harus memberinya makan. Jika
tidak diberi makan tanpa ada perintah dari pemiliknya, lalu hewan itu mati,
maka muuda’ harus menggantinya, karena memberi makan hewan adalah diperintahkan.
Di samping dia harus menanggungnya, dia juga berdosa karena tidak memberi makan
dan minum kepada hewan tersebut hingga mati, karena wajib baginya memberi makan
dan minum sebagai pemenuhan terhadap hak Allah Ta’ala, dimana hewan tersebut
memiliki kehormatan.
KONSEP DAN MEKANISME LEMBAGA
KEUANGAN SYARIAH
Lembaga keuangan yang berhubungan dengan penyimpanan atau
tabungan adalah salah satunya bank Syariah. Lembaga keuangan merupakan unit
badan usaha yang kekayaan utamanya dalam bentuk aset uang atau tagihan dibandingkan
dengan aset non-finansial. Lembaga keuangan berkaitan dengan sistem simpan
pinjam (kredit) yang melayani masyarakat dalam kegiatan ekonomi modern. Peran
lembaga keuangan (bank) saat ini semakin lama semakin dibutuhkan dan juga
mengalami perkembangan misalnya sebagai mediasi antara pihak yang memiliki dana
dengan yang memerlukan dana.
Sekarang apa bedanya antara lembaga keuangan dengan bank
Syariah? Lembaga keuangan salah satunya adalah bank. Bank Syariah menjadi
sebuah lembaga keuangan intermediasi keuangan antara unit defisit dengan unit
surplus atau menawarkan jasa simpan pinjam, asuransi, dan penyediaan mekanisme
pembayaran dengan berlandaskan pada prinsip Syariah Islam. Di Indonesia telah
banyak didirikan lembaga keuangan Syariah. Lembaga keuangan Syariah terdiri
dari 2 lembaga yaitu Bank dan Non-Bank. Lembaga non-bank di antaranya adalah
asuransi, pegadaian, reksa dana, pasar modal, BPRS, dan BMT.
Prinsip dan Konsep Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga
keuangan Syariah pada operasionalnya memiliki prinsip-prinsip yaitu:
- Prinsip keadilan yaitu berbagi untung atas dasar penjualan riil yang disesuaikan dengan kontribusi dan risiko masing-masing pihak.
- Prinsip kemitraan yaitu posisi nasabah penyimpan dana, pengguna dana, dan lembaga keuangan sejajar dengan mitra usaha yang saling sinergi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
- Prinsip transparansi yaitu prinsip yang menekankan bahwa lembaga keuangan Syariah selalu memberikan pelaporan keuangan secara terbuka dan secara berkesinambungan agar nasabah penyimpan dana (investor) dapat memantau dan mengetahui kondisi perihal dananya.
- Prinsip universal yaitu prinsip yang tidak membeda-bedakan agama, ras, suku dan golongan dalam masyarakat. Hal ini disesuaikan dengan prinsip dalam agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Untuk membedakan antara Lembaga Syariah dan Non-Syariah
dapat dilihat dari ciri-ciri khusus lembaga Syariah. Lembaga keuangan Syariah
memiliki ciri-ciri yaitu Lembaga keuangan Syariah diharuskan sesuai dengan
fatwa Dewan Pengawas Syariah saat menerima titipan dan investasi. Hubungan
antara pengguna dana, penyimpan dana (investor), dan lembaga keuangan Syariah
sebagai intermediary institution. Hal ini didasarkan pada kemitraan
bukan hubungan antara kreditur dan debitur. Bisnis dalam lembaga ini tidak
hanya dikhususkan atau berpusat pada profit (keuntungan) tetapi juga
menguatamakan falah oriented. Yang dimaksud falah oriented yaitu
kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Konsep yang dijalankan dalam transaksi Lembaga keuangan
Syariah didasarkan kepada prinsip kemitraan sistem bagi hasil dan jual beli.
Atau sewa menyewa untuk transaksi komersial dan pinjam meminjam (qardh/ kredit)
bertujuan untuk merugikan transaksi sosial.
Mekanisme Lembaga Keuangan Syariah
Pada dasarnya setiap lembaga keuangan memiliki sistem dan
mekanisme khusus yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya. Di lembaga
Syariah ini tidak dikenal istilah “bunga” baik saat menghimpun dana (pemasukan)
dari masyarakat maupun dalam pembiayaan/ dana untuk usaha yang membutuhkan.
Sistem bunga dapat merugikan penghimpunan modal baik itu dalam bentuk suku
bunga tinggi maupun rendah.
Suku bunga tinggi dapat menghambat suatu perusahaan dalam
investasi maupun formasi modal. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan
penurunan produktivitas dan laju pertumbuhan yang rendah. Suku bunga yang
rendah bisa saja menimbulkan ketidakrataan kekayaan pada para penabung. Hal ini
dapat berimbas pada rasio tabungan kotor juga merangsang pengeluaran secara
konsumtif yang dapat menimbulkan tekanan inflasioner
Penerapan Produk Perbankan Syariah yang Menggunakan Akad
Wadiah pada Perbankan Syariah Dikaitkan dengan Fiqih Muamalah
Wadi’ah secara etimologi adalah wada`a yang berarti
meninggalkan/ meletakkan atau titipan. Secara terminologi, wadi’ah dapat diartikan
sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun
badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya. Dalam mendefinisikannya, paling tidak ada tiga ulama mazhab
yang berupaya menjelaskannya, ulama mazhab Hanafi mengatakan wadi’ah adalah
mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang
jelas maupun isyarat. Sedangkan menurut ulama mazhab Syaf’i dan Maliki yaitu
mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu
meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar
dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup
menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari
satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus
dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Al-wadi’ah adalah amanah bagi orang yang menerima titipan
dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali firman Allah
SWT;
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No:
01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah,
yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga
tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No:
02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan
yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Dalam penjelasan undang-undang perbankan syari’ah tahun
2008, pasal 19, ayat 1, huruf a, dinyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan
barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang
diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta
keutuhan barang atau uang.”
Definisi ini selaras dengan definisi wadi’ah dalam ilmu
fiqih. Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadhi’ah
adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.”
Dapat diketahui bahwa wadi’ah merupakan titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga
dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Selain itu, menurut Bank
Indonesia, wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang
mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.
Dilihat dari segi akadnya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu
: Pertama, wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima
titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang/uang titipan yang bukan
di akibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Kedua, wadiah yad
dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan
atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang dan harus
bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah
menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan
kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan
prinsip wadiah yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara
nama tidak ditemukan dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip
ini ditemukan dua akad yang sifatnya bertentangan namun dipaksakan.
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadiah yad dhamanah,
karena di dalam praktiknya baik produk Giro Wadiah ataupun Tabungan Wadiah,
bank meminta pihak penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank
untuk mengelola titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil
yang diperoleh dari pemanfaatan titipan nasabah, yang dengan kata lain bank
tidak dikenai tanggungjawab (kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadiah, pemanfaatan
suatu titipan dalam bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada
unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam
fikih, yang demikian dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard). Melalui
sekilas gambaran seputar prinsip wadiah yad dhamanah yang di dalamnya
terkandung unsur wadiah dan qard, namun lebih layak berlandaskan qard.
Wadiah
pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang dititipi
posisisnya sebagai pihak penolong. Karena itulah, sifat dari wadiah adalah
amanah. Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa
wadhi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.”
Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang
dititipkan di bank syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib
menanggung segala resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya
menjamin, namun lebih jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang
kemudian disebut dengan ‘bagi hasil’.
Jika kita bandingkan antara menitipkan di perbankan syariah
dan menabung di bank konvensional, menabung di perbankan konvensional, paling
sedikit kita mendapatkan dua ‘keuntungan': Pertama, dana aman dan kedua, bunga
tabungan yang didapatkan setiap bulan. Sedangkan besaran bunga yang and
didapatkan setiap bulan, sesuai dengan suku bunga yang ditetapkan bank. Dengan
memahami dua konsep transaksi ini, secara sederhana kita bisa menangkap adanya
kemiripan antara konsep wadiah bank syariah dengan tabungan konvensional, jika
mengacu bahwa menitipkan uang harus mendapat kelebihan.
Jika kita cermati lebih lanjut, dapat diketahui dengan jelas
bahwa wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan
dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan,
lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang
nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala
resiko yang terjadi pada dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama
kontemporer yang mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya
mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari
atau yang secara bahasa bermakna account.
Sehingga apa yang diterapkan oleh perbankan syariah
sejatinya ialah akad hutang piutang yang kemudian disebut dengan wadiah. Bila
demikian tidak diragukan keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga
alias riba, berdasarkan kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama’:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu
adalah riba”
(al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)
Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki
hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara
wadi’ah dan dain (hutang-piutang). Dengan demikian, bila ketiga karakter
ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini
berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. Dan dengan segala
konsekwensinya, berbagai hukum utang piutang berlaku pada praktek wadi’ah yang
diterapkan oleh perbankan syari’ah.
Permasalahan ini harus dikuasai dan senantiasa diingat, agar
tidak terkecoh dengan perubahan nama atau sebutan riba. Masyarakat pada zaman
ini telah mengubah nama riba menjadi bunga atau faidah, dan mengubah nama
piutang menjadi tabungan atau wadi’ah.
Piutang (al-qardhu) adalah suatu akad berupa
memberikan harta kepada orang yang akan menggunakannya dan kemudian ia
berkewajiban mengembalikan gantinya. Adapun akad tabungan atau wadi’ah adalah
menyerahkan harta kepada orang yang menjaganya/menyimpankannya (baca Mughni
al-Muhtaj, 3/79, Kifayah al-Akhyaar oleh Taqiyuddin al-Hishny, 2/11 dan
asy-Syarhu al-Mumti’, 10/285).[24]
PENUTUP
Simpulan
- Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
- Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar