Jumat, 29 September 2017

MAKALAH : MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH MEKANISME KEUANGAN SYARIAH , BERBASIS TITIPAN ( WADI’AH )



MAKALAH : MANAJEMEN KEUANGAN SYARIAH
MEKANISME KEUANGAN SYARIAH , BERBASIS TITIPAN ( WADI’AH )
KELOMPOK X
AHMAD FAUZI
AKBAR

MENEJEMEN KAUNGAN SYARIAH
JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SULTAN AMAY
GORONTALO



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat sempurna. sehingga bisa dikatakan adalah agama yang bersifat universal dan komprehensif. Islam adalah Agama yang sesuai pada setiap waktu dan tempat yang berarti mencakup seluruh aspek kehidupan baik itu dalam bermuamalah maupun ibadah. Sedangkan yang di maksud dalam bidang muamalah sendiri mempunyai arti yang cukup luas, salah satunya dalam bidang ekonomi dan perbankan.
Salah satu sarana yang mempunyai peranan strategis dalam kegiatan perekonomian adalah Perbankan. Peran strategis tersebut terutama disebabkan oleh fungsi utama perbankan sebagai financial intermediary, yaitu sebagai suatu wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat secara efektif dan efesien.
Perbankan syariah pada dasarnya merupakan pengembangan dari konsep ekonomi Islam, terutama dalam bidang keuangan. Perbankan syariah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking. Bank syariah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi perbankan muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syariah Islam. Utamanya adalah yang berkaitan dengan pelarangan praktek riba, kegiatan maisir (perjudian), Gharar (ketidakjelasan) dan pelanggaran prinsip keadilan dalam transaksi serta keharusan penyaluran dana investasi pada kegiatan usaha yang etis dan halal secara syariah.
Lembaga keuangan syariah seperti perbankan syariah di Indonesia keberadaannya telah diatur dalam undang-undang, yaitu Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang nomor 7 tahun tahun 1992 tentang perbankan. Hingga kini terdapat banyak institusi bank syariah di Indonesia.
Keberadaan lembaga keuangan dalam Islam adalah vital karena kegiatan bisnis dan roda ekonomi tidak akan berjalan tanpanya. Bank syariah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Tujuan utama dari pendirian lembaga keuangan berlandaskan etika ini adalah tiada lain sebagai upaya kaum muslimin untuk mendasari segenap aspek kehidupan ekonominya berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sebagaimana diketahui bahwa bank syariah dibentuk adalah sebagai koreksi atas bank konvensional yang beroperasi dengan sistem bunga yang dianggap oleh sebagian ulama sebagai riba. Oleh karena itu dengan bank syariah dioperasikan tidak menggunakan sistem bunga melainkan dengan sistem bagi hasil.
Kendatipun perbankan syariah melalui program-programnya telah mensosialisasikan produk syariah ke masyarakat umum, namun masih ada sebagian masyarakat yang belum memahami beberapa produk syariah, padahal apabila dikaji tentang manfaatnya, semua produk syariah tentunya mempunyai fungsi dan perannya masing-masing dalam kehidupan ekonomi umat.
Pada fase perkembangan saat ini, perbankan syariah tidak hanya memiliki peluang, melainkan juga berbagai permasalahan. Nasabah dan masyarakat secara umum masih melihat bank syariah sama dengan bank konvensional karena margin yang harus dibayar oleh nasabah tak kalah tinggi dengan bunga. Sisi sumber daya manusia (SDM) di perbankan syariah turut menjadi bahasan sebagai salah satu pesoalan yang harus segera dituntaskan.
Hal-hal diatas, diakui ataupun tidak, merupakan titik lemah perbankan syariah yang menjadi prioritas pikiran kita bersama. Padahal kunci kesuksesan perbankan syariah sangat tergantung dengan tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan financial bank yang bersangkutan. Untuk meraih kepercayaan tersebut adalah dengan tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik. Bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat Islam.
Berkaitan dengan itu, produk-produk Bank Syariah pun tak luput dari permasalahan. Di dalam prakteknya, terdapat temuan-temuan yang bisa jadi akan mengurangi tingkat keparcayan publik kalau saja dibiarkan berlanjut tanpa ada tindakan dari bank syariah. Selain itu, dalam perspektif syariah pun, perlu kiranya untuk ditinjau ulang bagaimana sebaiknya implementasi akadnya sehingga tidak merugikan kedua belah pihak, baik pihak bank maupun nasabah.
Di antara produk Syariah yang ingin dibahas dalam makalah ini adalah produk Giro dan Tabungan Syariah, yang sulit ditemukan dasar hukumnya secara fikih. Pada prinsipnya, landasan kedua produk ini benar menurut fikih karena berlandaskan wadiah. Hanya saja, dalam implementasinya bank Syariah menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, maka penulis menarik identifikasi masalah sebagai berikut.
  1. Identifikasi masalah:
  2. Bagaimana tanggung jawab wadii’ kepada muwaddi’ dalam akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah?
  3. Bagaimana penerapan produk perbankan syariah yang menggunakan akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah?
  4. Tujuan Penulisan:
  5. Untuk mengetahui tanggung jawab wadii’ kepada muwaddi’ dalam akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah
  6. Untuk mengetahui penerapan produk perbankan syariah yang menggunakan akad wadiah dihubungkan dengan fiqih muamalah



PEMBAHASAN
Tanggung Jawab Wadii’ kepada Muwaddi’ dalam akad wadiah Dihubungkan dengan Fiqih Muamalah
Al Wadiah adalah titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya.
Barang titipan dalam fiqih dikenal dengan sebutan wadi’ah, menurut bahasa, wadi’ah ialah sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga (Ma Wudi’a ‘Inda Ghair Malikihi Layahfadzuhu), berarti bahwa wadi’ah ialah memberikan, makna yang kedua wadi’ah dari segi bahasa adalah menerima, seperti seseorang berkata: “awda’tubu” artinya aku menerima harta tersebut darinya (Qabiltu minhu dzalika al-Mal Liyakuna Wadi’ah ‘Indi), secara bahasa wadi’ah memiliki 2 makna, yakni memberikan harta untuk dijaga dan pada penerimaannya.
Dalam tradisi islam, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Wadi’ah menurut pasal 20 ayat 17 komplikasi Hukum Ekonomi Syari’ah(2009) ialah penitipan dana antara pihak pemilik dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut. Aplikasi wadi’ah terhadap dalam fatwa DSN-MUI No.36/DSN-MUI/X/2002 tentang sertifikat wadi’ah Bank Indonesia.
Setelah diketahui definisi wadi’ah, maka dapat dipahami bahwa yang dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
Keharusan menjaga wadi’ah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Al Irwaa’ 5/381).
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi. Akan tepai agar titipan tersebut tidak akan menimbulkan masalah dikemudian hari, maka disyaratkan :
  1. Barang titipan itu tidak memberatkan dirinya maupun keluarganya
  2. Tidak memungut biaya pemeliharaan
  3. Kalau sudah sampai waktunya diambil atau disampaikan kepada yang berhak
Dengan demikian apabila barang titipan itu mengalami kerusakan akibat kelalaian orang yang menerimanya, maka ia wajib menggantikannya.
Adapun kriteria kelalaian antara lain:
  1. Orang yang dipercaya titipan menyerahakan kepada orang lain tanpa sepengetahuan yang memilikinya
  2. Barang titipan itu dipergunakan atau dibawa pergi sehingga rusak atau hilang
  3. Menyia-nyiakan barang titipan
  4. Berkhianat, yaitu ketika barang titipan diminta tidak dikabulkan, tanpa sebab yang jelas
  5. Lalai atau tidak hati-hati dalam memelihara barang titipan
  6. Ketika yang dititipi barang itu sakit atau meninggal tidak berwasiat kepada ahli warisnya atau keluarganya tentang barang titipan, sehingga mengakibatkan barang rusak dan hilang.
Hukum menerima wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu :
  1. Sunnah, yaitu bagi orang yang percaya pada dirinya bahwa dia sanggup memelihara dan menjaganya, menerimanya bila disertai niat yang tulus ikhlas kepada Allah. Dianjurkan menerima wadii’ah, karena ada pahala yang besar di sana, berdasarkan hadits:

وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيه
“Dan Allah akan menolong seorang hamba, jika hamba itu mau menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
  1. Wajib, yaitu apabila sudah tidak ada lagi orang yang bisa dipercaya, kecuali hanya dia satu-satunya
  2. Haram, apabila dia tidak kuasa atau tidak sanggup menjaganya sebagaimana mestinya, karena seolah-olah dia membiarkan pintu kerusakan atau hilangnya barang titipan
  3. Makruh, menitipkan kepada orang yang dapat menjaganya tetapi ia tidak percaya pada dirinya, bahkan dikhawatirkan kemudian hari dia akan berkhianat terhadap barang titipan itu.
Wadii’ (orang yang dititipi) tidaklah menanggung barang titipan kecuali jika dia meremehkan atau melakukan jinayat (berindak salah) terhadap barang titipan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni.
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَوْدَعِ غَيْرِ المُغِلِّ ضَمَانٌ
“Bagi orang yang dititipi yang bukan pengkhianat tidaklah menanggung.”
Amr bin Syu’aib juga meriwayatkan dari bapaknya dari kakeknya bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أُوْدِعَ وَدِيْعَةً فَلاَضَمَانَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang dititipkan wadii’ah, maka dia tidaklah menanggungnya.” (HR. Ibnu Majah, dan dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah).
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu pernah memutuskan tentang wadii’ah yang berada dalam sebuah kantong, lalu hilang karena bolongnya kantong tersebut bahwa ia (orang yang dititipi) tidak menanggungnya. Bahkan Urwah bin Az Zubair pernah meminta dititipkan kepada Abu Bakar bin Abdurrahman bin Harits bin Hisyam  harta dari harta milik bani Mush’ab, lalu ternyata harta tersebut tertimpa musibah ketika masih berada di Abu Bakar atau sebagian harta itu, maka Urwah mengutus seseorang untuk memberitahukan, “Bahwa kamu tidak perlu menanggungnya. Kamu hanyalah orang yang diamanahi.” Lalu Abu Bakar berkata, “Saya telah mengetahui bahwa saya tidak menanggung, akan tetapi nanti orang-orang Quraisy menyebutkan bahwa diriku sudah tidak amanah”, lalu Abu Bakar menjual harta miliknya dan melunasinya.
Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang tersebut secara ‘uruf sebagaimana hartanya dijaga. Jika barang titipan berupa hewan, maka muuda’ harus memberinya makan. Jika tidak diberi makan tanpa ada perintah dari pemiliknya, lalu hewan itu mati, maka muuda’ harus menggantinya, karena memberi makan hewan adalah diperintahkan. Di samping dia harus menanggungnya, dia juga berdosa karena tidak memberi makan dan minum kepada hewan tersebut hingga mati, karena wajib baginya memberi makan dan minum sebagai pemenuhan terhadap hak Allah Ta’ala, dimana hewan tersebut memiliki kehormatan.
KONSEP DAN MEKANISME LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Lembaga keuangan yang berhubungan dengan penyimpanan atau tabungan adalah salah satunya bank Syariah. Lembaga keuangan merupakan unit badan usaha yang kekayaan utamanya dalam bentuk aset uang atau tagihan dibandingkan dengan aset non-finansial. Lembaga keuangan berkaitan dengan sistem simpan pinjam (kredit) yang melayani masyarakat dalam kegiatan ekonomi modern. Peran lembaga keuangan (bank) saat ini semakin lama semakin dibutuhkan dan juga mengalami perkembangan misalnya sebagai mediasi antara pihak yang memiliki dana dengan yang memerlukan dana.
Sekarang apa bedanya antara lembaga keuangan dengan bank Syariah? Lembaga keuangan salah satunya adalah bank. Bank Syariah menjadi sebuah lembaga keuangan intermediasi keuangan antara unit defisit dengan unit surplus atau menawarkan jasa simpan pinjam, asuransi, dan penyediaan mekanisme pembayaran dengan berlandaskan pada prinsip Syariah Islam. Di Indonesia telah banyak didirikan lembaga keuangan Syariah. Lembaga keuangan Syariah terdiri dari 2 lembaga yaitu Bank dan Non-Bank. Lembaga non-bank di antaranya adalah asuransi, pegadaian, reksa dana, pasar modal, BPRS, dan BMT.
Prinsip dan Konsep Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga keuangan Syariah pada operasionalnya memiliki prinsip-prinsip yaitu:
  1. Prinsip keadilan yaitu berbagi untung atas dasar penjualan riil yang disesuaikan dengan kontribusi dan risiko masing-masing pihak.
  2. Prinsip kemitraan yaitu posisi nasabah penyimpan dana, pengguna dana, dan lembaga keuangan sejajar dengan mitra usaha yang saling sinergi dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.
  3. Prinsip transparansi yaitu prinsip yang menekankan bahwa lembaga keuangan Syariah selalu memberikan pelaporan keuangan secara terbuka dan secara berkesinambungan agar nasabah penyimpan dana (investor) dapat memantau dan mengetahui kondisi perihal dananya.
  4. Prinsip universal yaitu prinsip yang tidak membeda-bedakan agama, ras, suku dan golongan dalam masyarakat. Hal ini disesuaikan dengan prinsip dalam agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Untuk membedakan antara Lembaga Syariah dan Non-Syariah dapat dilihat dari ciri-ciri khusus lembaga Syariah. Lembaga keuangan Syariah memiliki ciri-ciri yaitu Lembaga keuangan Syariah diharuskan sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah saat menerima titipan dan investasi. Hubungan antara pengguna dana, penyimpan dana (investor), dan lembaga keuangan Syariah sebagai intermediary institution. Hal ini didasarkan pada kemitraan bukan hubungan antara kreditur dan debitur. Bisnis dalam lembaga ini tidak hanya dikhususkan atau berpusat pada profit (keuntungan) tetapi juga menguatamakan falah oriented. Yang dimaksud falah oriented yaitu kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Konsep yang dijalankan dalam transaksi Lembaga keuangan Syariah didasarkan kepada prinsip kemitraan sistem bagi hasil dan jual beli. Atau sewa menyewa untuk transaksi komersial dan pinjam meminjam (qardh/ kredit) bertujuan untuk merugikan transaksi sosial.
Mekanisme Lembaga Keuangan Syariah
Pada dasarnya setiap lembaga keuangan memiliki sistem dan mekanisme khusus yang dapat membedakan satu dengan yang lainnya. Di lembaga Syariah ini tidak dikenal istilah “bunga” baik saat menghimpun dana (pemasukan) dari masyarakat maupun dalam pembiayaan/ dana untuk usaha yang membutuhkan. Sistem bunga dapat merugikan penghimpunan modal baik itu dalam bentuk suku bunga tinggi maupun rendah.
Suku bunga tinggi dapat menghambat suatu perusahaan dalam investasi maupun formasi modal. Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan penurunan produktivitas dan laju pertumbuhan yang rendah. Suku bunga yang rendah bisa saja menimbulkan ketidakrataan kekayaan pada para penabung. Hal ini dapat berimbas pada rasio tabungan kotor juga merangsang pengeluaran secara konsumtif yang dapat menimbulkan tekanan inflasioner
Penerapan Produk Perbankan Syariah yang Menggunakan Akad Wadiah pada Perbankan Syariah Dikaitkan dengan Fiqih Muamalah
Wadi’ah secara etimologi adalah wada`a yang berarti meninggalkan/ meletakkan atau titipan. Secara terminologi, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Dalam mendefinisikannya, paling tidak ada tiga ulama mazhab yang berupaya menjelaskannya, ulama mazhab Hanafi mengatakan wadi’ah adalah mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat. Sedangkan menurut ulama mazhab Syaf’i dan Maliki yaitu mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.
Al-wadi’ah adalah amanah bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali firman Allah SWT;
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN-MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah. Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
Dalam penjelasan undang-undang perbankan syari’ah tahun 2008, pasal 19, ayat 1, huruf a, dinyatakan:
“Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.”
Definisi ini selaras dengan definisi wadi’ah dalam ilmu fiqih. Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadhi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.
Dapat diketahui bahwa wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Selain itu, menurut Bank Indonesia, wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.
Dilihat dari segi akadnya ada beberapa bentuk wadi`ah yaitu : Pertama, wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang/uang dimana penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang/uang titipan yang bukan di akibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan. Kedua, wadiah yad dhamanah adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/uang dan harus bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan.
Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama tidak ditemukan dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip ini ditemukan dua akad yang sifatnya bertentangan namun dipaksakan.
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadiah yad dhamanah, karena di dalam praktiknya baik produk Giro Wadiah ataupun Tabungan Wadiah, bank meminta pihak penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk mengelola titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil  yang diperoleh dari pemanfaatan titipan nasabah, yang dengan kata lain bank tidak dikenai tanggungjawab (kewajiban) membagi hasilnya.
Padahal, secara asal di dalam prinsip wadiah, pemanfaatan suatu titipan dalam bentuk apapun hukumnya terlarang, karena apabila telah ada unsur penggunaan oleh pihak yang dititipi maka akadnya pun berubah. Di dalam fikih, yang demikian dikatakan sebagai prinsip pinjam-meminjam (qard). Melalui sekilas gambaran seputar prinsip wadiah yad dhamanah yang di dalamnya terkandung unsur wadiah dan qard, namun lebih layak berlandaskan qard.
Wadiah pada prinsipnya adalah membantu pihak penitip, dan pihak yang dititipi posisisnya sebagai pihak penolong. Karena itulah, sifat dari wadiah adalah amanah. Dalam kitab I’anatut Thalibin karya Ad Dimyathy dijelaskan bahwa wadhi’ah adalah: “Suatu akad yang betujuan menjaga suatu harta.”
Dalam menjalankan praktek wadiah, dana nasabah yang dititipkan di bank syariah mendapat jaminan aman, dan perbankan syari’ah wajib menanggung segala resiko yang tejadi pada dana nasabah. Selanjutnya bukan hanya menjamin, namun lebih jauh lagi, perbankan syari’ah memberi keuntungan yang kemudian disebut dengan ‘bagi hasil’.
Jika kita bandingkan antara menitipkan di perbankan syariah dan menabung di bank konvensional, menabung di perbankan konvensional, paling sedikit kita mendapatkan dua ‘keuntungan': Pertama, dana aman dan kedua, bunga tabungan yang didapatkan setiap bulan. Sedangkan besaran bunga yang and didapatkan setiap bulan, sesuai dengan suku bunga yang ditetapkan bank. Dengan memahami dua konsep transaksi ini, secara sederhana kita bisa menangkap adanya kemiripan antara konsep wadiah bank syariah dengan tabungan konvensional, jika mengacu bahwa menitipkan uang harus mendapat kelebihan.
Jika kita cermati lebih lanjut, dapat diketahui dengan jelas bahwa wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Sebagaimana nasabah terbebas dari segala resiko yang terjadi pada dananya. Karena alasan ini, banyak dari ulama kontemporer yang mengkritisi penamaannya dengan wadi’ah. Dan sebagai gantinya mereka mengusulkan untuk menggunakan istilah lain, semisal al-hisab al-jari atau yang secara bahasa bermakna account.
Sehingga apa yang diterapkan oleh perbankan syariah sejatinya ialah akad hutang piutang yang kemudian disebut dengan wadiah. Bila demikian tidak diragukan keuntungan yang diperoleh nasabah darinya adalah bunga alias riba, berdasarkan kaidah fiqih yang telah disepakati oleh ulama’:
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan maka itu adalah riba” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hlm. 116)
Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang). Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah. Dan dengan segala konsekwensinya, berbagai hukum utang piutang berlaku pada praktek wadi’ah yang diterapkan oleh perbankan syari’ah.
Permasalahan ini harus dikuasai dan senantiasa diingat, agar tidak terkecoh dengan perubahan nama atau sebutan riba. Masyarakat pada zaman ini telah mengubah nama riba menjadi bunga atau faidah, dan mengubah nama piutang menjadi tabungan atau wadi’ah.
Piutang (al-qardhu) adalah suatu akad berupa memberikan harta kepada orang yang akan menggunakannya dan kemudian ia berkewajiban mengembalikan gantinya. Adapun akad tabungan atau wadi’ah adalah menyerahkan harta kepada orang yang menjaganya/menyimpankannya (baca Mughni al-Muhtaj, 3/79, Kifayah al-Akhyaar oleh Taqiyuddin al-Hishny, 2/11 dan asy-Syarhu al-Mumti’, 10/285).[24]




PENUTUP
Simpulan
  1. Wadi’ah adalah penitipan, yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan menggantinya.
  2. Wadi’ah yang ada di perbankan syariah bukanlah wadiah yang dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. Wadi’ah perbankan syariah yang saat ini dipraktekkan, lebih relevan dengan hukum dain/piutang, karena pihak bank memanfaatkan uang nasabah dalam berbagai proyeknya. Adanya kewenangan untuk memanfaatkan barang, memiliki hasilnya dan menanggung kerusakan atau kerugian adalah perbedaan utama antara wadi’ah dan dain (hutang-piutang) . Dengan demikian, bila ketiga karakter ini telah disematkan pada akad wadi’ah, maka secara fakta dan hukum akad ini berubah menjadi akad hutang piutang dan bukan wadi’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar